Fase Depresi Bipolar

Aku sudah mulai kenal dengan ciri-ciri ketika fase depresi itu datang. Episode yang dulu sangat menyiksaku, dan tanpa ku sadari juga telah menyiksa orang-orang terdekat ku.

Ku amati terus ledakan kemarahan dalam kepala ini. Semua orang terdekat yang dulu langsung menjadi sasaran, kini tak lagi menyadari kemarahan ku. Karena saat ini hanya aku, tubuh dan rasaku yang menanggungnya.

Dadaku terasa penuh sesak, nyeri, detak jantung pun tidak beraturan. Kupijat-pijat sendiri untuk mengurangi sakitnya. Sementara otak di kepalaku terus memproduksi pikiran-pikiran buruk. Mengangkat semua kenangan pahit bertahun-tahun lampau, tanpa bisa ku cegah.

Setiap lagu yang diputar dalam perjalanan kami ke Jakarta, membawaku pada kejadian lampau yang menyakitkan. Monster dalam otak ku tak lelah untuk terus membuat ku terjerumus lebih dalam ke lembah depresi.

Seringkali aku menarik nafas panjang, untuk sekedar mengurangi sesak imajiner dalam dada. Ini membuat suamiku yang sedang fokus menyetir mobil akhirnya bertanya, “kamu gak apa-apa?”

“Kacau, pak. Aku lagi gak beres. Udah ku tambah dosis kok, bentar lagi aman.” Jawabku menenangkannya sambil juga menenangkan diri. Ia mengerti, lalu diam. Sejak awal datang fase depresi sekitar 3 hari yang lalu, aku memang minum obat lithium bicarbonate yang diresepkan psikiater untuk ku. Dan hari ini, ku naikan dosis dari 200mg ke 400mg, untuk mencegah episode ini membawaku depresi terlalu dalam.

Diam. Ini yang pernah aku minta padanya saat ku berada dalam kondisi normal. Diam, jangan banyak bicara atau bertanya ketika aku di kondisi seperti ini. Karena apapun yang ia katakan, akan diartikan oleh pikiran depresif ku sebagai hal negatif. Jika terus bicara, akan semakin sulit buat ku dan bisa berefek buruk untuknya, untuk kami.

Bahkan dengan diamnya saat ini, masih ku teruskan dalam kepala sebuah dialog yang ku buat sendiri. “Halah, bipolar itu penyakit mengada-ada, dilawan dong… mosok gitu aja gak bisa. Semua orang juga pernah ngerasa depresi. Manja, dan mengada-ada aja kamu tuh”

Lalu, menanggapi komentar imajiner itu, aku membanting hp yang sedang ku pegang ke kaca depan mobil. Tanganku memukul2 jendela kaca, dan sambil teriak-teriak marah aku merebut stir mobil yang sedang melaju kencang di jalan tol ke pembatas jalan, lalu mobil terguling. Meledak dengan kami berada di dalamnya. Terdengar tawa terbahak puas di kepalaku.

Semua terjadi dalam bayang-bayang saja. Begitu banyak dialog imajiner terjadi selama 7 jam perjalanan ini. Lelah. Aku sangat lelah.

Sesekali ku ikut bernyanyi mengikuti lagu yang diputar dalam mobil. Sesekali kami mengobrol tentang apapun yang biasa kami obrolkan.

Namun tidak bertahan lama. Aku sering kehilangan kata-kata saat bicara, sepertinya ingat, tapi tak bisa ketemu untuk disebut di mulut. Tiap kali ini terjadi, aku merasa bodoh, malu, sedih. Untungnya ia mengerti, tidak mengejek ku yang tiba2 bengong karena kehilangan kata di tengah cerita.

Walaupun ia mengerti, pikiranku membentuk dialognya sendiri. Semua dialog yang membuatku merasa semakin rendah, tidak berharga, tidak pantas untuknya, bahkan bagi siapapun di dunia ini. Tak tahan merasa direndahkan, aku mengamuk lagi, teriak-teriak, memukul suamiku, memukul jendela mobil, menendang dashboard sambil menangis.

Ya, semua hanya terjadi dalam pikiranku. Kenyataannya, aku hanya duduk diam. Sekuat tenaga berusaha menyadari, menonton monster dalam kepalaku yang sedang berusaha keras untuk membawaku dalam kendalinya.

Matahari mulai memantulkan cahayanya yang kuning kemerahan di gerombolan awan. Syukurlah, kondisi terang mengurangi depresiku, nyeri di dadaku sedikit berkurang.

Kami sampai dengan selamat, tak ada ledakan amarah atau tangisan sepanjang perjalanan. Tak ada sindiran sinis, celetukan kejam, atau jebakan pertanyaan yang dulu selalu ku ucapkan secara nyata, untuk menanggapi dialog imajiner ciptaan monster di dalam kepala.

Aku lega, aku merasa berhasil melawan monster ku selama perjalanan ini, walau kondisi sedikit kaku karena tidak seperti biasanya yang penuh cerita dan tawa.

Masih ada beberapa hari harus ku lewati di kota ini. Hari-hari yang berat, karena akan bertemu banyak orang dalam waktu yang lama. Dimana aku tidak bisa begitu saja absen, kabur, atau bersembunyi untuk tidak mengadiri acara.

Dapatkah kau bayangkan, berapa banyak dialog imajiner yang akan dibuat oleh monster ku? Tadi malam hanya 1 orang. Hingga beberapa hari ke depan, akan banyak orang yang terkadang terlalu peduli padaku dan tak bisa membiarkan ku diam sendiri.

Mereka akan berusaha membuatku ceria dengan obrolan, candaan, bertanya kabar, curhat, dan segala hal yang biasa dilakukan oleh teman satu dengan yang lain.

Membayangkannya saja sudah membuat dadaku kembali sakit. Tapi ini tidak mungkin dihindari. Akan ku hadapi sebisanya dan membuat monster dalam kepalaku lelah mencoba. I know i can do this.

Image Source

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top